| Home | Book-Literature | Inspiring-Religion | Economy-Business | Social-Cultural-Languange | Politics-Conspiracy | Health-Sport | Music-Movie | Femininity-Parenting |

Wednesday, 25 June 2014

BUNGA BANK = RIBA = HARAM!

     Fatwa MUI No. 1 Tahun 2004 tentang bunga bank riba telah dikeluarkan. Sebelum adanya fatwa ini keharaman bunga bank memang masih banyak diperdebatkan, organisasi masa Islam yang besar-besar pun saat itu belum menyatakan bahwa bunga bank adalah riba. Tetapi setelah adanya fatwa yang dikeluarkan oleh Komisi Fatwa Majelis Ulama Insonesia yang mewakili seluruh elemen penting umat Islam negeri ini maka seharusnya sudah tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Tantangannya adalah bagaimana kita bisa mengikuti fatwa para ulama ini dengan mencari solusinya. Karena isi dari fatwa tersebut di atas tidak hanya terbatas pada produk-produk perbankan tetapi juga menyangkut seluruh produk-produk institusi keuangan lainnya, lantas bagaimana para eksekutif dan karyawan perbankan serta industri keuangan lainnya merespon fatwa ini?
      Secara umum terdapat empat kelompok yang merespon fatwa tersebut secara berbeda:
Kelompok pertama adalah kelompok yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang adanya fatwa tersebut. Bagi kelompok ini, ada atau tidak adanya fatwa riba ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap pekerjaannya hingga kini.
Kelompok kedua adalah kelompok yang tahu ada fatwa ini tetapi mereka merasa lebih tahu tentang haram tidaknya bunga bank, maka bagi kelompok yang kedua ini fatwa tersebut juga tidak berpengaruh pada pekerjaannya.
Kelompok ketiga adalah kelompok yang menerima fatwa tersebut dan berusaha mentaatinya, hanya saja tidak atau belum tahu harus bagaimana – bisa dikatakan galau dalam bahasa gaulnya.
Kelompok keempat adalah kelompok yang menerima fatwa tersebut dan mulai membuat rencana-rencana bagaimana menjauhi riba dalam kehidupan modern yang bentuk-bentuk ribanya sudah sangat sophisticated ini.
Pembaca termasuk dalam kelompok yang mana?
Bagi kelompok ketiga dan keempat silahkan simak postingan ini, semoga bermanfaat.

    Sampai sekarang riba telah mengepung kehidupan kita sehari-hari, bukan hanya mengepung para eksekutif dan pekerja di perbankan dan industri keuangan lainnya, namun juga mengepung seluruh masyarakat pekerja. Kepungan riba atau yang disebut sebagai lingkaran riba ini dapat dilihat pada ilustrasi dibawah ini. 
 
Lingkaran merah adalah ribanya, sedangkan garis-garis putih adalah celah-celah dimana kita bisa berusaha keluar dari lingkaran riba ini. Kita bisa lihat bahwa celahnya begitu kecil, untuk menunjukkan betapa susahnya keluar dari lingkaran riba itu sekarang. Melihat betapa sulitnya kita keluar dari lingkaran riba maka bisa jadi jaman ini adalah jaman yang sudah dikabarkan oleh Rasulullaah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam melalui haditsnya,
Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya.”
(HR. Ibnu Majah, HR. Sunan Abu Dawud, HR. Al-Nasa’i dari Abu Hurairah)

     Untuk menggambarkan betapa riba tersebut telah mengepung kita, berikut ini contoh gambaran situasinya:
Jika kita sebagai pekerja di perusahaan atau instansi apapun, kini hampir dapat dipastikan perusahaan atau instansi menaruh sebagian besar dananya di Bank Konvensional dalam bentuk rekening koran, deposito dan sebagainya. Bunga kemudian mengalir ke rekening tersebut dan kemudian sampai ke gaji kita, tunjangan, bonus dan sebagainya.
Selain gaji, sebagai karyawan kita juga memperoleh jaminan kesehatan, dana pensiun, jaminan perlindungan kecelakaan kerja dan sebagainya. Dimana dana-dana ini dikelola mayoritasnya oleh industri keuangan konvensional.
Darimana kita bisa tahu bahwa sebagian besar perusahaan atau instansi menggunakan bank dan industri keuangan konvensional untuk menaruh atau mengelola uangnya? Kita bisa tahu dari pangsa pasar bank dan industri keuangan syariah yang masih sangat kecil dibandingkan dengan yang konvensional, artinya mayoritas perusahaan dan instansi masih menggunakan yang konvensional ketimbang yang syariah.
Terlepas dari adanya kritik sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa bank dan industri keuangan syariahpun belum sepenuhnya syar’i, saya tetap menyarankan penggunaan yang sudah berusaha menuju yang syar’i ini ketimbang yang terang-terangan tidak menghiraukan fatwa riba ini. Syukur-syukur ada yang sepenuhnya sudah syar’i.
 
      Bagi bank konvensional yang infrastruktur teknologi dan layanannya sudah jauh lebih unggul yang dalam realitasnya sudah banyak memberi manfaat untuk kepentingan transfer dana dan sebagainya, bisa saja bank-bank seperti ini tetap digunakan tetapi produk-produk ribawinya harus dihilangkan. Rekening koran misalnya, tidak usah diberi bunga tetapi gantinya diberikan dalam bentuk layanan yang sebaik-baiknya, karena masyarakat yang sadar keharaman bunga bank tidak akan mementingkan – atau bahkan menjauhi – bunga tetapi membutuhkan layanan yang baik. Produk semacam deposito misalnya, tidak perlu lagi digunakan karena kalau ada kelebihan dana,bisa diputar di bisnis yang riil Insya ALLAAH akan lebih baik daripada sekedar ditaruh di deposito.

   Untuk produk-produk asuransi, dana pensiun, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan sebagainya seharusnya ada perlindungan konsumen muslim secara maksimal, jangan sampai pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak ini dipenuhi atau dikelola secara ribawi. Bayangkan misalnya ada keluarga kita jatuh sakit, tetapi kemudian dirawat oleh perusahaan dengan jaminan asuransi yang dikelola secara ribawi, do’a orang sakit yang seharusnya terkabulkan menjadi tidak terkabulkan karena pengaruh riba yang bisa jadi tidak kita sadari.
Begitu pula ketika kita telah memasuki masa pensiun tanpa kita sadari dana pensiun yang kita gunakan sebagian berasal dari riba yang terbawa oleh pengelolaan dana pensiun yang juga belum menghiraukan fatwa riba tersebut.

     Solusi bank syariah, asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan sejenisnya dapat terus diupayakan dan disempurnakan untuk menjadi solusi yang benar-benar syar’i, bukan hanya sekedar ikut-ikut trend atau mencari keuntungan saja. Namun sesungguhnya solusi syar’i yang paling luas aplikasinya dan sesuai tuntunan yang sebenarnya adalah menggalakkan perdagangan (jual beli) dan sedekah. Di dalam Al-Quran telah ditegaskan bahwa lawan dari riba adalah jual beli dan sedekah, maka inilah yang seharusnya digalakkan di masyarakat dan diajarkan sejak anak-anak. Anak-anak lebih baik diajari berdagang dan bersedekah ketimbang diajari menabung.
Namun sayangnya jual belipun mudah sekali terjatuh pada riba bila tidak mengikuti ketentuan syariat jual beli. Itulah mengapa Umar bin Khattab ketika menjadi Muhtasib (pengawas pasar) sering mengingatkan masyarakatnya untuk tidak berjualan di pasarnya bila tidak memahami syariah jual beli.
Salah satu dari upaya nyata untuk menumbuhkan keahlian dan kesempatan bagi masyarakat untuk bisa berjual beli secara syar’i ini bisa dengan mendirikan dan melestarikan institut-institut atau kajian-kajian tentang masalah ini. Jika yang riba saja ada institut-institut resminya, dan meraja lela, lalu kenapa kita tidak membangun kekuatan untuk melawannya?!







“… ALLAAH telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
(QS. Al-Baqoroh [2] : 275)

“ALLAAH memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah…”
(QS Al-Baqoroh [2] : 276)


No comments:

Post a Comment